Serasa Nggak
Punya Muka-Umi Sasya
Perkenalanku
dengan suami cukup unik, berawal dari sms nyasar, berlanjut kepada pertemuan
pertemuan dan berakhir dipelaminan. Waktu yang sangat singkat, hanya memerlukan
waktu dua bulan saja dari mulai perkenalan sampai akhirnya kami memutuskan
untuk bertunangan, akan tetapi keluarga tidak menghendaki kami bertunangan,
alhasil, kami langsung dinikahkan, dan semua keluarga dari kedua belah pihak
mendukungnya. Aku dan suami belum begitu mengenal sepenuhnya satu sama lain,
karena proses ta’aruf yang sangat singkat, dan kami bisa mengenal lebih lanjut
pribadi masing masing, dari mulai kebiasaan, karakter dan lain sebagainya
ketika kami sudah terikat dalam suatu akad yang suci yaitu pernikahan.
Konon katanya waktu yang paling singkat dari
mulai perkenalan sampai kejenjang
pernikahan paling sebentar tujuh bulan, sedangkan aku dan suami hanya dua bulan.
Jadi, antara calon istri dan calon suami bisa mengenal satu sama lain, tentang karakter
apalagi kebiasaan keluarga masing masing, termasuk masalah tek tek bengek yang
ada dalam diri masing masing pun termasuk keluarga masing masing.
Setelah
menikah kami sepakat tinggal di kontrakan yang tidak jauh dari Kampus tempat
kuliahku, karena saat menikah aku masih duduk dibangku kuliah, ya, masih kuliah
tepatnya semester enam. Dan aku mengenal suamiku ketika aku melaksanakan PPL (Perkuliahan
Praktik Lapangan) suatu KBIH di kota Bandung, ya, pasti tempatnya ada dipusat
kota, dan pasti dekat dengan tempat tempat perbelanjaan, bermain atau sekedar
jalan jalan sajah, heu…mahasiswa ke tempat perbelanjaan biasanya liat liat
doang.
Kami
menjalani rutinitas sehari hari bersama sama disuatu kontrakan yang mungil,
pagi hari aku berangkat kuliah, dan suamiku istirahat di kontrakan mungil itu,
karena suamiku bekerja dimalam hari, mengingat pekerjaannya berjualan di Pasar
Induk yang notabene ramenya pada malam hari. Setiap hari kami menjalani
kegiatan itu, dan ketika aku libur kuliah, suamiku selalu mengajakku pergi ke
rumah orang tuanya yang ada di daerah Garut, aku pun selalu menuruti
keinginannya, selain untuk silaturahmi dan mengenal lebih dekat keluarga dari
pihak suami, aku pun menjadikan kesempatan itu sebagai refresing dari kepenatan
kepenatan selama diam dikontrakan mungil yang sepi dan hanya bergelut dengan
tugas tugas yang menumpuk.
Suatu
hari, suami mengajakku pergi ke rumah orang tuanya, aku pun mau. Sesampainya
disana seperti biasa sanak saudara yang ada dikampung selalu menyambut
kedatangan kami dengan baik, dengan keramahan dan ciri khas mereka. Siang hari bibik
dari ibu mertuaku mendatangi rumah mertuaku untuk mengajakku mengunjungi
rumahnya. Aku pun semangat menanggapinya, lalu aku dan suami berikut ibu
mertuaku mengunjungi rumah bibik yang tidak begitu jauh dari rumah mertuaku.
Kami pun tiba di rumah bibik, melihat rumahnya yang bersih dan sejuk, aku pun
betah berlama lama disana, ngobrol, bersenda gurau dan tak lupa cemilan khas
kampung kami nikmati bersama.
Didepan
rumah bibik terdapat empang yang lumayan banyak ikannya. Kebetulan waktu itu
musim kemarau, empang empang yang ada dikampung airnya pada surut, termasuk
empang kepunyaan bibik, bibik berniat mengambil ikan ikan yang ada diempang
untuk dikumpulkan disuatu bak yang ada airnya, biar nggak pada lemes katanya.
Sebelum dimasukin ke bak yang dimaksud bibik, bibik terlebih dahulu
mengumpulkan ikan dalam suatu tempat, kalau dikampung buleng namanya
(tempat yang terbuat dari bamboo yag dianyam dengan jarak yang agak berjauhan,
tidak seperti tempat nasi atau kami menyebutnya boboko). Dan, buleng itu
disimpan di tempat yang ada air mengalir walaupun sedikit, yaitu dari
pembuangan air yang ada di rumah bibik.
Ketika
kami sedang asyik menikmati suasana yang ada di empang, ramainya bibik dan anak
anakya menangkap ikan ikan yang ada di kolam satu persatu dengan tangan mereka,
tiba tiba perutku mules yang begitu hebat, mungkin karena rujak yang tadi
kumakan bareng suamiku dan bibik. Aku pun tak bisa menahan lagi hasrat itu
alias kebelet let let let… ke belakang, tanpa tanya itu ini, aku langsung
menuju kamar mandi yang ada di dapur bibik, dan buang hajat dicloset yang ada
di kamar mandi itu, haaah.. lega rasanya. Eitsssss… tiba tiba kudengar suara
teriakan bibik “siapa yang buang hajat ya?????.... ini semuanya masuk ke buleng
(tempat bibik menyimpan ikan ikan hasil tangkapannya) nih!”
“Astagfirullohaladzim…” aku langsung istigfar didalam kamar mandi, kukira ada spitengnya, ternyata tidak, dan
ternyata pembuangannya semuanya ke empang.
Malu,
aku benar benar malu setengah mati, dan serba salah apa yang harus kulakukan?
Sejenak aku memilih terdiam dikamar mandi untuk menenangkan diri, adduh…
bagaimana aku tidak malu, aku baru mengenal mereka beberapa hari, dan aku
melakukan hal yang sangat memalukan, mau ditaruh dimana mukaku? Yah, sudah aku
pasrah saja apa pun yang akan terjadi aku akan menerimanya, aku pun memutuskan
keluar dari kamar mandi, ya iya lah… masa mau nginep di kamar mandi!... hehe.
Aku
pun memberanikan diri keluar dari kamar mandi dan melihat apa yang terjadi di
empang, huwaaaa… ternyataaaaa oh ternyataaaaa hasil buang hajatku semuanya
masuk ke tempat ikan hasil tangkapan bibik dan anak anaknya, hadoooh, betapa malunya aku, serasa nggak punya muka.
Dan, yang lebih parah adalah suamiku ikut menertawakanku atas kejadian itu. Coba, siapa yang tidak malu,
pengantin baru, trus baru mengenal keluarga dari pihak suami, tiba tiba ada hal
yang memalukan seperti itu. Tapi, aku pun tidak mau berlarut larut dalam
situasi seperti itu, aku pun coba ikut tertawa kecil untuk menghibur diriku
sendiri, dan untungnya ibu mertua tidak ikut mentertawakanku secara langsung,
kalau urusan hati aku tidak tahu, yang penting apa yang terlihat, dan bibik
juga memakluminya, karena aku baru berada disana.
Aku
mengira semua WC pembuangannya ke spiteng, apalagi saat itu musim kemarau,
dimana empang empang airnya surut, ternyata kalau disana tidak, semuanya ke
empang, mau musim hujan atau pun musim kemarau sama saja pembuangannya ke
empang. Beda dengan di tempat tinggal orang tuaku, jika musim hujan atau banyak
air WC pembuangannya ke empang, dan, jika musim kemarau pembuangan WC itu ke spiteng.
Dan, kalau di Bandung tempat kontrakan mungilku berada semua pembuangan dari WC
ke spiteng.
Dan,
untungnya bibik bukan orang yang suka malu maluin orang lain, tidak meledek
atau mentertawakanku atas kejadian itu, bahkan bibik tidak merasa jijik membuang semua kotoranku
yang berada didalam tempat ikan itu dengan tangannya sendiri. Ibu mertuaku tak
henti hentinya membelaku didepan suamiku
yang terus menertawakan atas kejadian yang memalukan itu, aku pun hanya bisa
terdiam dan sesekali tersenyum kecil mengingat apa yang telah terjadi.
Beberapa
jam telah berlalu dari kejadian yang sangat memalukan itu. Ingin rasanya ku
berteriak kencang “hah maluuuu…” dan aku tiba tiba mau pulang saking malunya,
tapi suami tidak mengabulkan permintaanku sembari terus tertawa dengan apa yang
telah terjadi, aku semakin malu dibuatnya. Aku, suami dan ibu mertuaku kembali
ke rumah ibu mertua, aku pun coba menghibur diri dengan nonton televisi, sedang
asyik nonton, tiba tiba ada yang mengetuk pintu, ternyata bibik mengirimkan
sebagian ikan yang tadi ditangkapnya, untuk ibu mertua, aku dan suami dan semua
keluarganya.
Rasa
malu dan bersalah pun semakin memuncak, ketika semua keluarga dari suamiku
tidak ada satu orang pun yang mau makan ikan pemberian bibik, mungkin karena
jijik melihat peristiwa yang terjadi di empang tadi, akhirnya aku sendiri yang
memakannya. Kupikir, kenapa jijik, kan ikannya dibersihin terlebih dahulu
sebelum dimasak, ya, sudah kumakan saja dari pada mubadzir tidak ada yang
makan, sayang kan? Lagian aku sudah terlanjur malu, masa harus lapar juga?
hehe, sambil terus mencoba menutupi rasa malu dan rasa bersalahku, aku hanya
bisa tersenyum kecil memandang ikan ikan yang ada dipiring sebelum
menyantapnya.
Ketika
aku memakan ikan ikan itu, parahnya suamku terus mencemooh dan menertawakanku,
untungnya aku sudah rada terlatih mental untuk menghadapi orang seperti itu,
aku terus saja memakan ikan ikan itu tanpa menghiraukan apa yang terlontar dari
suamiku, dan mengacuhkannya. Padahal, dihati agak sebel melihat tingkahnya yang
terus menertawaiku, sementara ibu mertuaku terus membelaku dihadapan suamiku,
walaupun ibu mertua juga tidak mau makan ikan ikan itu, yah, biarlah aku saja
yang menyantapnya sendiri.
Ada
pelajaran penting dari pengalamanku yang paling memalukan sampai sampai serasa
nggak punya muka diaawal pernikahanku itu. Pertama, jika anda mendatangi suatu
tempat, kenali terlebih dahulu tempat itu, segala sesuatu yang ada disana dan
bagaimana caranya supaya anda bisa melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
biasa dilakukan ditempat itu. Kedua, jika anda mau melakukan sesuatu walaupun
sudah kebelet atau tidak kuat, tanyalah terlebih dahulu kepada orang yang
berada disana dimana tempatnya (buang hajat) dan kemana salurannya, jangan
terburu buru. Dan, ketiga, jangan nunggu kebeletnya.
Dan
yang tak kalah pentingnya, adalah jika anda sedang bertamu ke rumah seseorang
atau sedang bepergian jauh dari rumah, jangan sekali kali makan makanan yang
akan membuat perut anda nggak nyaman, ntar repot sendiri loh….. hehehe
pengalaman yang sangat memalukan diawal pernikahan. Dan, yang pasti, kejadian
itu akan kuingat terus sampai kapan pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar