Rabu, 05 Juni 2013

cerpen



Serasa Nggak Punya Muka-Umi Sasya
            Perkenalanku dengan suami cukup unik, berawal dari sms nyasar, berlanjut kepada pertemuan pertemuan dan berakhir dipelaminan. Waktu yang sangat singkat, hanya memerlukan waktu dua bulan saja dari mulai perkenalan sampai akhirnya kami memutuskan untuk bertunangan, akan tetapi keluarga tidak menghendaki kami bertunangan, alhasil, kami langsung dinikahkan, dan semua keluarga dari kedua belah pihak mendukungnya. Aku dan suami belum begitu mengenal sepenuhnya satu sama lain, karena proses ta’aruf yang sangat singkat, dan kami bisa mengenal lebih lanjut pribadi masing masing, dari mulai kebiasaan, karakter dan lain sebagainya ketika kami sudah terikat dalam suatu akad yang suci yaitu pernikahan.
 Konon katanya waktu yang paling singkat dari mulai perkenalan  sampai kejenjang pernikahan paling sebentar tujuh bulan, sedangkan aku dan suami hanya dua bulan. Jadi, antara calon istri dan calon suami bisa  mengenal satu sama lain, tentang karakter apalagi kebiasaan keluarga masing masing, termasuk masalah tek tek bengek yang ada dalam diri masing masing pun termasuk keluarga masing masing.
            Setelah menikah kami sepakat tinggal di kontrakan yang tidak jauh dari Kampus tempat kuliahku, karena saat menikah aku masih duduk dibangku kuliah, ya, masih kuliah tepatnya semester enam. Dan aku mengenal suamiku ketika aku melaksanakan PPL (Perkuliahan Praktik Lapangan) suatu KBIH di kota Bandung, ya, pasti tempatnya ada dipusat kota, dan pasti dekat dengan tempat tempat perbelanjaan, bermain atau sekedar jalan jalan sajah, heu…mahasiswa ke tempat perbelanjaan biasanya liat liat doang.
            Kami menjalani rutinitas sehari hari bersama sama disuatu kontrakan yang mungil, pagi hari aku berangkat kuliah, dan suamiku istirahat di kontrakan mungil itu, karena suamiku bekerja dimalam hari, mengingat pekerjaannya berjualan di Pasar Induk yang notabene ramenya pada malam hari. Setiap hari kami menjalani kegiatan itu, dan ketika aku libur kuliah, suamiku selalu mengajakku pergi ke rumah orang tuanya yang ada di daerah Garut, aku pun selalu menuruti keinginannya, selain untuk silaturahmi dan mengenal lebih dekat keluarga dari pihak suami, aku pun menjadikan kesempatan itu sebagai refresing dari kepenatan kepenatan selama diam dikontrakan mungil yang sepi dan hanya bergelut dengan tugas tugas yang menumpuk.
            Suatu hari, suami mengajakku pergi ke rumah orang tuanya, aku pun mau. Sesampainya disana seperti biasa sanak saudara yang ada dikampung selalu menyambut kedatangan kami dengan baik, dengan keramahan dan ciri khas mereka. Siang hari bibik dari ibu mertuaku mendatangi rumah mertuaku untuk mengajakku mengunjungi rumahnya. Aku pun semangat menanggapinya, lalu aku dan suami berikut ibu mertuaku mengunjungi rumah bibik yang tidak begitu jauh dari rumah mertuaku. Kami pun tiba di rumah bibik, melihat rumahnya yang bersih dan sejuk, aku pun betah berlama lama disana, ngobrol, bersenda gurau dan tak lupa cemilan khas kampung kami nikmati bersama.
            Didepan rumah bibik terdapat empang yang lumayan banyak ikannya. Kebetulan waktu itu musim kemarau, empang empang yang ada dikampung airnya pada surut, termasuk empang kepunyaan bibik, bibik berniat mengambil ikan ikan yang ada diempang untuk dikumpulkan disuatu bak yang ada airnya, biar nggak pada lemes katanya. Sebelum dimasukin ke bak yang dimaksud bibik, bibik terlebih dahulu mengumpulkan ikan dalam suatu tempat, kalau dikampung buleng namanya (tempat yang terbuat dari bamboo yag dianyam dengan jarak yang agak berjauhan, tidak seperti tempat nasi atau kami menyebutnya boboko). Dan, buleng itu disimpan di tempat yang ada air mengalir walaupun sedikit, yaitu dari pembuangan air yang ada di rumah bibik.
            Ketika kami sedang asyik menikmati suasana yang ada di empang, ramainya bibik dan anak anakya menangkap ikan ikan yang ada di kolam satu persatu dengan tangan mereka, tiba tiba perutku mules yang begitu hebat, mungkin karena rujak yang tadi kumakan bareng suamiku dan bibik. Aku pun tak bisa menahan lagi hasrat itu alias kebelet let let let… ke belakang, tanpa tanya itu ini, aku langsung menuju kamar mandi yang ada di dapur bibik, dan buang hajat dicloset yang ada di kamar mandi itu, haaah.. lega rasanya. Eitsssss… tiba tiba kudengar suara teriakan bibik “siapa yang buang hajat ya?????.... ini semuanya masuk ke buleng (tempat bibik menyimpan ikan ikan hasil tangkapannya) nih!” “Astagfirullohaladzim…” aku langsung istigfar didalam kamar mandi,  kukira ada spitengnya, ternyata tidak, dan ternyata pembuangannya semuanya ke empang.
            Malu, aku benar benar malu setengah mati, dan serba salah apa yang harus kulakukan? Sejenak aku memilih terdiam dikamar mandi untuk menenangkan diri, adduh… bagaimana aku tidak malu, aku baru mengenal mereka beberapa hari, dan aku melakukan hal yang sangat memalukan, mau ditaruh dimana mukaku? Yah, sudah aku pasrah saja apa pun yang akan terjadi aku akan menerimanya, aku pun memutuskan keluar dari kamar mandi, ya iya lah… masa mau nginep di kamar mandi!... hehe.
            Aku pun memberanikan diri keluar dari kamar mandi dan melihat apa yang terjadi di empang, huwaaaa… ternyataaaaa oh ternyataaaaa hasil buang hajatku semuanya masuk ke tempat ikan hasil tangkapan bibik dan anak anaknya, hadoooh,  betapa malunya aku, serasa nggak punya muka. Dan, yang lebih parah adalah suamiku ikut menertawakanku atas  kejadian itu. Coba, siapa yang tidak malu, pengantin baru, trus baru mengenal keluarga dari pihak suami, tiba tiba ada hal yang memalukan seperti itu. Tapi, aku pun tidak mau berlarut larut dalam situasi seperti itu, aku pun coba ikut tertawa kecil untuk menghibur diriku sendiri, dan untungnya ibu mertua tidak ikut mentertawakanku secara langsung, kalau urusan hati aku tidak tahu, yang penting apa yang terlihat, dan bibik juga memakluminya, karena aku baru berada disana.
            Aku mengira semua WC pembuangannya ke spiteng, apalagi saat itu musim kemarau, dimana empang empang airnya surut, ternyata kalau disana tidak, semuanya ke empang, mau musim hujan atau pun musim kemarau sama saja pembuangannya ke empang. Beda dengan di tempat tinggal orang tuaku, jika musim hujan atau banyak air WC pembuangannya ke empang, dan, jika musim kemarau pembuangan WC itu ke spiteng. Dan, kalau di Bandung tempat kontrakan mungilku berada semua pembuangan dari WC ke spiteng.
            Dan, untungnya bibik bukan orang yang suka malu maluin orang lain, tidak meledek atau mentertawakanku atas kejadian itu, bahkan bibik  tidak merasa jijik membuang semua kotoranku yang berada didalam tempat ikan itu dengan tangannya sendiri. Ibu mertuaku tak henti hentinya  membelaku didepan suamiku yang terus menertawakan atas kejadian yang memalukan itu, aku pun hanya bisa terdiam dan sesekali tersenyum kecil mengingat apa yang telah terjadi.
            Beberapa jam telah berlalu dari kejadian yang sangat memalukan itu. Ingin rasanya ku berteriak kencang “hah maluuuu…” dan aku tiba tiba mau pulang saking malunya, tapi suami tidak mengabulkan permintaanku sembari terus tertawa dengan apa yang telah terjadi, aku semakin malu dibuatnya. Aku, suami dan ibu mertuaku kembali ke rumah ibu mertua, aku pun coba menghibur diri dengan nonton televisi, sedang asyik nonton, tiba tiba ada yang mengetuk pintu, ternyata bibik mengirimkan sebagian ikan yang tadi ditangkapnya, untuk ibu mertua, aku dan suami dan semua keluarganya.
            Rasa malu dan bersalah pun semakin memuncak, ketika semua keluarga dari suamiku tidak ada satu orang pun yang mau makan ikan pemberian bibik, mungkin karena jijik melihat peristiwa yang terjadi di empang tadi, akhirnya aku sendiri yang memakannya. Kupikir, kenapa jijik, kan ikannya dibersihin terlebih dahulu sebelum dimasak, ya, sudah kumakan saja dari pada mubadzir tidak ada yang makan, sayang kan? Lagian aku sudah terlanjur malu, masa harus lapar juga? hehe, sambil terus mencoba menutupi rasa malu dan rasa bersalahku, aku hanya bisa tersenyum kecil memandang ikan ikan yang ada dipiring sebelum menyantapnya.
            Ketika aku memakan ikan ikan itu, parahnya suamku terus mencemooh dan menertawakanku, untungnya aku sudah rada terlatih mental untuk menghadapi orang seperti itu, aku terus saja memakan ikan ikan itu tanpa menghiraukan apa yang terlontar dari suamiku, dan mengacuhkannya. Padahal, dihati agak sebel melihat tingkahnya yang terus menertawaiku, sementara ibu mertuaku terus membelaku dihadapan suamiku, walaupun ibu mertua juga tidak mau makan ikan ikan itu, yah, biarlah aku saja yang menyantapnya sendiri.
            Ada pelajaran penting dari pengalamanku yang paling memalukan sampai sampai serasa nggak punya muka diaawal pernikahanku itu. Pertama, jika anda mendatangi suatu tempat, kenali terlebih dahulu tempat itu, segala sesuatu yang ada disana dan bagaimana caranya supaya anda bisa melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang biasa dilakukan ditempat itu. Kedua, jika anda mau melakukan sesuatu walaupun sudah kebelet atau tidak kuat, tanyalah terlebih dahulu kepada orang yang berada disana dimana tempatnya (buang hajat) dan kemana salurannya, jangan terburu buru. Dan, ketiga, jangan nunggu kebeletnya.
            Dan yang tak kalah pentingnya, adalah jika anda sedang bertamu ke rumah seseorang atau sedang bepergian jauh dari rumah, jangan sekali kali makan makanan yang akan membuat perut anda nggak nyaman, ntar repot sendiri loh….. hehehe pengalaman yang sangat memalukan diawal pernikahan. Dan, yang pasti, kejadian itu akan kuingat terus sampai kapan pun.

           

             


Tidak ada komentar: