Selasa, 20 Mei 2014

Rojab Menjemputmu

                                                 Kenangan Bapak Mertua Tercinta


Sepuluh tahun mengenalmu, tidak pernah aku melihat  perangai tidak baik padamu, pada istri, anak, apalagi aku sebagai menantumu. Bicaramu lantang syarat dengan nasihat yang tidak pernah menghujat. Kutahu dirimu buta aksara, tapi ajaib, setiap perkataanmu berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan aku kerap kali mendapatimu mengigau tartil bacaan Al-Qur’an.     
       
Sungguh, kau pribadi yang penuh dengan sensasi, perkataanmu jujur,  bahkan, mimpimu selalu terbukti dengan kenyataan. Kau pernah berkata kepadaku “jangan kau anggap aku ini bapa mertuamu, aku bapakmu, kutegaskan aku bapakmu” bahkan, kalau aku terlihat sedikit murung, engkau selalu menyapaku, dan berkata “bicara padaku tentang permasalahamnu, pun jika aku ada masalah dengan suamiku, ya, suamiku anaknmu sendiri, kau selalu bicara kepadaku, “jangan mengadu persoalan rumah tangga kepada kedua orang tuamu, bicaralah permasalahanmu kepadaku.” Sungguh, sangat luhur budimu, bijaksana tindakanmu.

Ketika aku mengandung anak kembarku, kau terlihat sangat menyayangiku dan janin yang ada dirahimku, jika bertemu kau selalu menasihatiku, bahkan mengusap perutku, kau selalu  bilang :”jaga kandunganmu baik-baik”  sebagai tanda sayangmu sama anak menantumu ini yang belum pernah bisa membahagiakanmu, dan rasa sayangmu pada cucumu walau belum nampak dihadapanmu.

Semua anak-anaknya tinggal di Bandung, termasuk aku dan suamiku. Kami akui, kami jarang sekali menemuimu, karena urusan kami, kami merasa sangat sibuk dengan urusan kami masing-masing, sehingga tidak menyempatkan seminggu sekali atau sebulan sekali mengunjungimu di kampung, tapi sebenarnya dilubuk hati yang paling dalam kami sangat menyayangimu.

Betapa merasa sedih dan merasa bersalahnya aku, apalagi ketika melihatmu tergopoh-gopoh mengunjungi semua anakmu, ditemuainya semua anak-anak satu persatu padahal jaraknya sangat berjauhan, tanpa mengenal rasa lelah apalagi mengeluh. Maumu sederhana, melihat anak-anakmu bahagia, akur, antara sesama saudara, biarpun tak seibu dan sebapa. Janji kami,  insyaalloh itu akan kami lakukan. Berkali dirimu mengajak kami sebagai anak-anakmu berkumpul di kampung, tapi, bisa terhitung hanya beberapa kali maumu itu kami turuti. Tapi, dirimu tidak pernah marah dengan kami. Maafkan kami anak-anakmu yang selama ini banyak mengecewakanmu, dan pastinya belum bisa membahagiakanmu sebagaimana mestinya anak terhadap orang tuanya.

Kedatanganmu ke rumah kami tak pernah merepotkan, dirimu datang sendiri tanpa minta kami jemput, padahal kami bisa menjemputmu, tapi dirimu selalu berangkat sendiri, dengan pakaian  khasmu jaket yang sangat sederhana, topi atau kadang memakai kopiah yang sudah lusuh, tak ketinggalan ransel yang berisi pakaian. Tidak pernah kami mendengar maumu yang aneh-aneh, cukup dibelikan tape kesukaanmu, ya, tape kudapan yang sangat sederhana, tapi aku melihat dirimu lahap menyantapnya, nikmat keliahatannya.

Ketika dirimu mengunjungi kami, nasihat dan nasihat  yang kau berikan, terbayang gaya bicaramu, suara yang lantang syarat dengan nasihat yang bijak dan menenangkan, terkadang  bikin kami tersenyum atau bahkan tercengang ketika kau cerita masa mudamu yang sungguh penuh dengan liku, cerita kehidupannmu yang dimasa  lalu yang membuatku sangat kagum kepadamu, ya, kagum dengan kesabaranmu, sikapmu terhadap sesama, bahkan sikapmu sangat legowo dengan  yang berbeda, dan lebih jauh dirimu sangat tidak mengenal kekerasan, karena dirimu bisa bersifat bijak kepada sesama dan bahkan terhadap orang yang telah mendzolimimu. Sungguh! Kau pribadi yang sangat unik menurutku.

Ketika dirimu mau pulang dari rumah kami, tanganmu selalu menjabat dengan erat sambil mendo’akan kami, bahkan aku sering melihatmu meneteskan air mata ketika dirimu akan meninggalkan kami. Begitu besar rasa sayangmu terhadap kami anak-anakmu.

Kau selalu bicara apa sajah dengan anakmu, bahkan aku sebagai anak menantumu sering kau ajak ngobrol dengan tidak canggung, karena kau tidak lagi menganggapku sebagai menantu, kau sebut aku anakmu sendiri. Suatu ketika, aku pernah mendengar permintaanmu, selama aku menjadi menantumu baru kali pertama aku mendengar maumu, kau mau dibelikan gamis berwarna hijau, aku dan suami membelikanmu walau sangat telat menuruti permintaanmu yang tidak sulit itu.

Pernah lagi dirimu bicara kepadaku “Teteh (panggilannya terhadapku, sebagai orang sunda memanggil anak perempuan dengan kata teteh) bapak akan pulang ke rumah yang sesungguhnya di bulan Rojab”. Benar saja, hari kamis tanggal 1 Mei 2014 bertepatan dengan 1 Rojab 1435 H, kau meninggalkan kami menuju rumah yang sesungguhnya, rumah yang abadi untuk selama-lamanya.

Terjadi sedikit insiden ketika bermusyawarah tentang dimana dirimu akan dimakamkan. Dirimu wasiat mau dimakamkan dekat istrimu yang pertama, dan seluruh keluarga sepakat akan menuruti wasiatmu itu. Tapi, diluar dugaan, ada seorang Ulama yang berpendapat bahwa itu tidak boleh dilakukan, terjadilah silang pendapat antara kami keluarga dan Ulama tersebut, tapi pada akhirnya, kami melaksanakan wasiat itu. Kami yakin, bahwa wasiat seperti itu tidaklah menyalahi aturan agama, bukanlah wasiat dalam hal yang maksiat, jadi kami tetap menjalankan wasiat itu, karena wasiat wajib dijalankan selama wasiat itu bukanlah hal maksiat atau dosa.

Kami semua mengantarkanmu ketempat peristirahatan terakhirmu, alhamdulillah, banyak orang yang mengiringimu, banyak orang yang menyaksikan prosesi pemakamanmu, banyak yang mendengarkan ketika kau ditalqinkan, dan itu berarti banyak orang yang mendo’akanmu.

Bapak, selamat jalan, tenanglah disana, kami anak-anakmu akan selalu mendo’akanmu, akan selalu mengingat nasihat-nasihatmu, mengenang segala jasa-jasamu.

Satu tujuanku menuliskan tentangmu wahai bapak mertuaku tercinta, aku sangat menyayangimu, tapi aku tidak dapat berbuat banyak, aku hanya bisa mendo’akanmu, pun dengan tulisan ini, aku berharap setiap orang yang membaca bisa mendoakanmu jua, semoga kau masuk disurga-NYA,  aamiin




                                                                                           Bandung, Mei 2014/Rojab 1435 H
                                                                            
                                                                                                              Umi Sasya


Tidak ada komentar: