Kenangan Bapak Mertua Tercinta
Sepuluh tahun mengenalmu, tidak
pernah aku melihat perangai tidak baik
padamu, pada istri, anak, apalagi aku sebagai menantumu. Bicaramu lantang
syarat dengan nasihat yang tidak pernah menghujat. Kutahu dirimu buta aksara,
tapi ajaib, setiap perkataanmu berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan
aku kerap kali mendapatimu mengigau tartil bacaan Al-Qur’an.
Sungguh, kau pribadi yang penuh
dengan sensasi, perkataanmu jujur,
bahkan, mimpimu selalu terbukti dengan kenyataan. Kau pernah berkata
kepadaku “jangan kau anggap aku ini bapa mertuamu, aku bapakmu, kutegaskan aku
bapakmu” bahkan, kalau aku terlihat sedikit murung, engkau selalu menyapaku,
dan berkata “bicara padaku tentang permasalahamnu, pun jika aku ada masalah
dengan suamiku, ya, suamiku anaknmu sendiri, kau selalu bicara kepadaku,
“jangan mengadu persoalan rumah tangga kepada kedua orang tuamu, bicaralah permasalahanmu
kepadaku.” Sungguh, sangat luhur budimu, bijaksana tindakanmu.
Ketika aku mengandung anak
kembarku, kau terlihat sangat menyayangiku dan janin yang ada dirahimku, jika
bertemu kau selalu menasihatiku, bahkan mengusap perutku, kau selalu bilang :”jaga kandunganmu baik-baik” sebagai tanda sayangmu sama anak menantumu
ini yang belum pernah bisa membahagiakanmu, dan rasa sayangmu pada cucumu walau
belum nampak dihadapanmu.
Semua anak-anaknya tinggal di
Bandung, termasuk aku dan suamiku. Kami akui, kami jarang sekali menemuimu,
karena urusan kami, kami merasa sangat sibuk dengan urusan kami masing-masing,
sehingga tidak menyempatkan seminggu sekali atau sebulan sekali mengunjungimu
di kampung, tapi sebenarnya dilubuk hati yang paling dalam kami sangat
menyayangimu.
Betapa merasa sedih dan merasa
bersalahnya aku, apalagi ketika melihatmu tergopoh-gopoh mengunjungi semua
anakmu, ditemuainya semua anak-anak satu persatu padahal jaraknya sangat
berjauhan, tanpa mengenal rasa lelah apalagi mengeluh. Maumu sederhana, melihat
anak-anakmu bahagia, akur, antara sesama saudara, biarpun tak seibu dan sebapa.
Janji kami, insyaalloh itu akan kami
lakukan. Berkali dirimu mengajak kami sebagai anak-anakmu berkumpul di kampung,
tapi, bisa terhitung hanya beberapa kali maumu itu kami turuti. Tapi, dirimu
tidak pernah marah dengan kami. Maafkan kami anak-anakmu yang selama ini banyak
mengecewakanmu, dan pastinya belum bisa membahagiakanmu sebagaimana mestinya
anak terhadap orang tuanya.
Kedatanganmu ke rumah kami tak
pernah merepotkan, dirimu datang sendiri tanpa minta kami jemput, padahal kami
bisa menjemputmu, tapi dirimu selalu berangkat sendiri, dengan pakaian khasmu jaket yang sangat sederhana, topi atau
kadang memakai kopiah yang sudah lusuh, tak ketinggalan ransel yang berisi
pakaian. Tidak pernah kami mendengar maumu yang aneh-aneh, cukup dibelikan tape
kesukaanmu, ya, tape kudapan yang sangat sederhana, tapi aku melihat dirimu
lahap menyantapnya, nikmat keliahatannya.
Ketika dirimu mengunjungi kami,
nasihat dan nasihat yang kau berikan,
terbayang gaya bicaramu, suara yang lantang syarat dengan nasihat yang bijak
dan menenangkan, terkadang bikin kami
tersenyum atau bahkan tercengang ketika kau cerita masa mudamu yang sungguh
penuh dengan liku, cerita kehidupannmu yang dimasa lalu yang membuatku sangat kagum kepadamu,
ya, kagum dengan kesabaranmu, sikapmu terhadap sesama, bahkan sikapmu sangat
legowo dengan yang berbeda, dan lebih jauh dirimu sangat tidak
mengenal kekerasan, karena dirimu bisa bersifat bijak kepada sesama dan bahkan
terhadap orang yang telah mendzolimimu. Sungguh! Kau pribadi yang sangat unik menurutku.
Ketika dirimu mau pulang dari
rumah kami, tanganmu selalu menjabat dengan erat sambil mendo’akan kami, bahkan
aku sering melihatmu meneteskan air mata ketika dirimu akan meninggalkan kami.
Begitu besar rasa sayangmu terhadap kami anak-anakmu.
Kau selalu bicara apa sajah
dengan anakmu, bahkan aku sebagai anak menantumu sering kau ajak ngobrol dengan
tidak canggung, karena kau tidak lagi menganggapku sebagai menantu, kau sebut
aku anakmu sendiri. Suatu ketika, aku pernah mendengar permintaanmu, selama aku
menjadi menantumu baru kali pertama aku mendengar maumu, kau mau dibelikan
gamis berwarna hijau, aku dan suami membelikanmu walau sangat telat menuruti
permintaanmu yang tidak sulit itu.
Pernah lagi dirimu bicara
kepadaku “Teteh (panggilannya terhadapku, sebagai orang sunda memanggil anak
perempuan dengan kata teteh) bapak akan pulang ke rumah yang sesungguhnya di
bulan Rojab”. Benar saja, hari kamis tanggal 1 Mei 2014 bertepatan dengan 1
Rojab 1435 H, kau meninggalkan kami menuju rumah yang sesungguhnya, rumah yang
abadi untuk selama-lamanya.
Terjadi sedikit insiden ketika bermusyawarah
tentang dimana dirimu akan dimakamkan. Dirimu wasiat mau dimakamkan dekat
istrimu yang pertama, dan seluruh keluarga sepakat akan menuruti wasiatmu itu.
Tapi, diluar dugaan, ada seorang Ulama yang berpendapat bahwa itu tidak boleh
dilakukan, terjadilah silang pendapat antara kami keluarga dan Ulama tersebut,
tapi pada akhirnya, kami melaksanakan wasiat itu. Kami yakin, bahwa wasiat
seperti itu tidaklah menyalahi aturan agama, bukanlah wasiat dalam hal yang
maksiat, jadi kami tetap menjalankan wasiat itu, karena wasiat wajib dijalankan
selama wasiat itu bukanlah hal maksiat atau dosa.
Kami semua mengantarkanmu
ketempat peristirahatan terakhirmu, alhamdulillah, banyak orang yang
mengiringimu, banyak orang yang menyaksikan prosesi pemakamanmu, banyak yang
mendengarkan ketika kau ditalqinkan, dan itu berarti banyak orang yang mendo’akanmu.
Bapak, selamat jalan, tenanglah
disana, kami anak-anakmu akan selalu mendo’akanmu, akan selalu mengingat
nasihat-nasihatmu, mengenang segala jasa-jasamu.
Satu tujuanku menuliskan
tentangmu wahai bapak mertuaku tercinta, aku sangat menyayangimu, tapi aku
tidak dapat berbuat banyak, aku hanya bisa mendo’akanmu, pun dengan tulisan
ini, aku berharap setiap orang yang membaca bisa mendoakanmu jua, semoga kau
masuk disurga-NYA, aamiin
Bandung, Mei 2014/Rojab 1435 H
Umi Sasya