Selasa, 21 April 2015

Refleksi Kartini day_Jadilah Wanita yang Diperhitungkan

Refleksi Kartini Day_Jadilah Wanita yang Diperhitungkan
(KDRT, ohhh noooo)

Bunga dan tulisan ini kupersembahkan buat Kartini masa kini, yang beriman, cerdas, tangguh, nan mandiri.

Wanita adalah makhluk Alloh yang diciptakan dengan berbagai keunikan, wanita adalah karunia, wanita adalah tiang agama dan Negara. Wanita diciptakan dari tulang rusuk pria yang berdekatan dengan hati untuk disayangi, dan tidak jauh dari tangan untuk dilindungi, wanita adalah makhluk kuat yang bisa mengerjakan berbagai pekerjaan dalan satu saat, wanita adalah pekerja yang tak mengenal lelah, wanita adalah makhluk terindah, ia tidak mudah mengalah. Ia sebagai anak, istri plus sebagai ibu, plus lagi sebagai pemeran penting dalam kehidupan, ia bisa jadi dokter, bisa jadi motivator, bisa jadi guru, bahkan pembantu. Ia menjalani berbagai peran dengan senang hati, hanya ridlo Illahi yang ia cari, walau kadang sedikit mengeluh, wajar, karena itu sifat manusiawi.

Tapi, tidak semua wanita mendapat perlakuan yang mengagumkan dari orang-orang yang ada disekelilingnya, kadang dicaci, dimaki, tidak dihargai. Kembali pada mereka yang ada disekitar wanita, apakah mereka mengerti akan keberadaan wanita disisinya? apakan mereka mengerti, betapa wanita itu manusia lembut yang wajib diprlakukan dengan lembut pula. Walau  kadang ada sebagian wanita yang perkasa dilihat dari luarnya, padahal hatinya tetep ia makhluk yang membutuhkan kelembutan dari mereka yang ada disekelilingnya, terutama pasangannya.

Kehidupan setiap orang berbeda-beda, ujian yang dihadapinya pun berbeda beda, tapi yakin semuanya sekenario-NYA, proses pendewasaan, proses menemukan jati diri, dan semuanya pasti sudah diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha Kuasa. Sadari, syukuri, jalani semuanya, takdir tidak mungkin salah apalagi kejam (seperti lagu ceu Desi ratnasari tempo dulu itu, heu) menimpa seseorang. Yakin, Alloh tidak akan menguji seseorang diluar batas kemampuannya.
Kekersan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut dengan KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh  jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Lebih parah lagi pelaku KDRT tersebut tidak merasa melakukannya dengan alas an ada guna guna dari orang ketiga, sehingga dia melakukan KDRT (nyalahin orang lain yang belum tentu benar menggunaan guna guna itu, heu, sudah melakukan KDRT su’udzon lagi, ampuuuun dech). Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi, pokonya mencari berbagai alasan untuk menyembunyikan kelakuannya itu.
Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan  dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan domestik sempat mengundang kontraversi karena ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka relasi pekerjaan (antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan saat ini menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT terhimpun lebih banyak lagi kasus KDRT yang dilaporkan.
KDRT terus meningkat, mereka yang berani melapor hanya sebagian kecil dari wanita yang memberanikan dirinya tentunya dengan berbagai pertimbangan dan resiko yang akan dihadapi kedepannya. Karena tidak sedikit wanita yang terkena KDRT bungkam dengan berbagai alasan, takut bercerai, takut tidak ada yang membiayai anak-anak termasuk tidak ada yang menjamin kehidupannya, dan yang paling mengerikan adalah wanita tidak melapor KDRT karena ancaman dari pelaku KDRT tersebut.
Padahal, sesungguhnya, jika para wanita yang terkena KDRT berani melapor kepada pihak yang berwenang, maka tindakan KDRT akan berkurang, karena ada efek jera bagi mereka pelaku KDRT. Keyakinan, keberanian dan ketegaran sangat diperlukan bagi wanita yang ingin bangkit dari keterpurukan, ingin terlepas dari tindakan KDRT. Keyakinan kepada Alloh itu yang utama, karena jika tidak, sampai kapanpun tidak aka nada keberanian melapor dan tentunya tidak akan berakhir penderitaan karena KDRT, kecuali pelaku KDRT sadar dengan sendirinya. Ya, wanita harus yakin, bahwa yang menjamin kehidupannya bukan suaminya, yang menanggung jawab anaknya bukan hanya suaminya, yang member rizki bukan suaminya, apalagi suami yang suka melakukan KDRT, yakin kehidupan kita hanya Alloh yang menjamin, Allohlah Maha Segalanya.
Selamat hari Kartini, selamat meneladani, jadilah wanita yang diperhitungkan, Teguh keyakinan, cerdas,  berakhlak nan mandiri.